Nurdiansyah, Putra Pandu Dinata (2022) Forced marriage as a criminal act of sexual violence in the perspective of Law Number 12 of 2022 and Syafi’i based fiqh. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
|
Text (fulltext)
19210060.pdf - Accepted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (1MB) | Preview |
Abstract
ABSTRACT
Forced marriage within the family is closely related to the decision of the nuclear family of the person who is the victim of forced marriage. Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence is a progressive step in handling sexual violence for victims of society. As for the Law on Marriage and the Compilation of Islamic Law (KHI), the issue of the guardian and the bride's consent is an essential element in the validity of a marriage. The existence of Ijbar rights in fiqh, many people still misunderstand the correct concept of the existence of these rights, so unions are forced guardians of their children to be married to other people by force on the pretext of using Ijbar rights from themselves as part of the rights himself to his son. This has led to misunderstandings among ordinary people, mainly because they do not know the limitations of the Ijbar rights.
This research aims to identify and analyze the concept of forced marriage as a crime of sexual violence contained in Law Number 12 of 2022 and Shafi'i-Based Jurisprudence. The type of research used by researchers in this research is normative legal research, using a conceptual approach. The data used in this study are primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials.
The research results obtained from various data in this study are, (1) The concept of forced marriage in Law Number 12 of 2022 can be considered as part of sexual violence because it is full of abuse committed by a guardian to guardianship for forced marriage. It is regulated that forced marriage in the Indonesian legal system is listed in the Law on Sexual Violence, which includes an article regarding forced marriage as a criminal act of sexual violence. This can happen because there is an element of coercion carried out by the guardian against his child (2) In another review in Shafi'i-based Fiqh, it is explained that the right of ijbar from the guardian as a pretext for implementing forced marriages by the guardian cannot be used carelessly by the guardian, there are requirements that must be fulfilled in it. (3) The difference in the concept of the TPKS Law and Shafi'i-based Fiqh lies in several indicators; age, legal consequences, opportunities, and people (actors). While the similarities are in the indicators, culture, and objects of forced marriage.
ABSTRAK
Pemaksaan perkawinan di dalam keluarga erat kaitannya dengan keputusan keluarga inti dari orang yang menjadi korban pemaksaan perkawinan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi langkah progresif dalam penanganan kekerasan seksual bagi masyarakat yang menjadi korban. Adapun dalam Undang-Undang tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), persoalan wali dan persetujuan mempelai perempuan merupakan unsur penting dalam sebuah keabsahan perkawinan. Adanya hak Ijbar dalam fiqih, masyarakat masih banyak yang salah dalam memahami konsep yang benar dari adanya hak itu sehingga muncul adanya pemaksaan perkawinan yang dilakukan oleh wali kepada anaknya untuk dinikahkan dengan orang lain secara paksa, dengan dalih menggunakan hak Ijbar dari dirinya sebagai bagian dari hak dirinya kepada anaknya. Hal ini yang menimbulkan kesalahpahaman dari masyarakat yang awam terutama karena tidak mengetahui batasan yang ada dari adanya hak ijbar tersebut.
Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis konsep dari pemaksaan perkawinan sebagai tindak pidana kekerasan seksual yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 dan Fiqih Berbasis Syafi’i. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan konseptual. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Hasil penelitian yang diperoleh dari berbagai data yang ada di dalam penelitian ini yaitu, (1) Konsep pemaksaan perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 dapat dianggap sebagai bagian dari kekerasan seksual, karena di dalamnya sarat akan penyelewangan yang dilakukan oleh seorang wali kepada perwaliannya untuk menikahkan secara paksa. Diatur bahwa Pemaksaan perkawinan dalam sistem hukum Indonesia tercantum pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang memasukkan pasal mengenai pemaksaan dalam perkawinan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini bisa terjadi karena adanya unsur pemaksaan yang dilakukan oleh wali terhadap anaknya (2) Pada tinjauan lain di Fiqh berbasis Syafi’i, dijelaskan bahwa hak ijbar dari wali sebagai dalih pelaksanaan kawin paksa oleh wali tidak dapat digunakan dengan sembarangan oleh wali, ada persyaratan yang harus dipenuhi di dalamnya. (3) Perbedaan konsep dari UU TPKS dan Fiqih berbasis Syafi’i terletak pada beberapa indikator; usia, akibat hukum, peluang, dan orang (pelaku). Sedangkan persamaannya ada pada indikator; budaya dan objek pemaksaan perkawinan.
مستخلص البحث
يرتبط الزواج القسري داخل الأسرة ارتباطًا وثيقًا بقرار الأسرة النواة للشخص الذي وقع ضحية الزواج القسري. القانون رقم 12 لعام 2022 بشأن جرائم العنف الجنسي هو خطوة تقدمية في التعامل مع العنف الجنسي لضحايا المجتمع. أما بالنسبة لقانون الزواج وتجميع الشريعة الإسلامية (KHI) ، فإن مسألة الولي وموافقة العروس عنصر مهم في صحة الزواج. وجود حقوق الإجبار في الفقه ، لا يزال الكثير من الناس يسيئون فهم المفهوم الصحيح لوجود هذه الحقوق بحيث يتم إجبار الزيجات من قبل الأوصياء على أطفالهم على الزواج من أشخاص آخرين بالقوة ، بحجة استخدام حقوق الإجبار من أنفسهم. جزء من الانسان نفسه لابنه. وقد أدى ذلك إلى سوء فهم بين الناس العاديين ، خاصة لأنهم لا يعرفون حدود حقوق الإجبار.
يركز هذا البحث على تحديد وتحليل مفهوم الزواج القسري كجريمة عنف جنسي وارد في القانون رقم 12 لعام 2022 والفقه الشافعي. نوع البحث الذي استخدمه الباحثون في هذه الدراسة هو بحث قانوني معياري ، باستخدام نهج مفاهيمي. البيانات المستخدمة في هذه الدراسة هي مواد قانونية أولية ، ومواد قانونية ثانوية ، ومواد قانونية من الدرجة الثالثة.
نتائج البحث التي تم الحصول عليها من البيانات المختلفة في هذه الدراسة هي ، (1) يمكن اعتبار مفهوم الزواج القسري في القانون رقم 12 لعام 2022 كجزء من العنف الجنسي ، لأنه مليء بالإساءة التي يرتكبها ولي الأمر للوصاية على الزواج القسري . يُنظم أن الزواج القسري في النظام القانوني الإندونيسي مدرج في قانون العنف الجنسي ، الذي يتضمن مادة تتعلق بالزواج القسري كعمل إجرامي للعنف الجنسي. يمكن أن يحدث هذا لأن هناك عنصر إكراه يقوم به الولي على طفله. من قبل الوصي لا يمكن أن يستخدمه الوصي بلا مبالاة ، فهناك متطلبات يجب الوفاء بها. (3) الاختلاف في مفهوم قانون TPKS والفقه الشافعي يكمن في عدة مؤشرات. العمر ، والعواقب القانونية ، والفرص ، والأشخاص (الفاعلون). في حين أن أوجه التشابه في المؤشرات ؛ الثقافة وأشياء من الزواج بالإكراه.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Supervisor: | Jamilah, Jamilah | ||||||
Contributors: |
|
||||||
Keywords: | Forced Marriage; Syafi’i Based Fiqh; Sexual Violence; Pemaksaan Perkawinan; Fiqih Berbasis Syafi’i; Kekerasan Seksual; الزواج القسري; الفقه الصافي; العنف الجنسي | ||||||
Subjects: | 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1801 Law > 180128 Islamic Family Law > 18012805 Wali & Saksi 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1801 Law > 180128 Islamic Family Law > 18012811 Nusyuz, Syiqaq & Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Marriage Violence) |
||||||
Departement: | Fakultas Syariah > Jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah | ||||||
Depositing User: | Putra Pandu Dinata Nurdiansyah | ||||||
Date Deposited: | 22 Dec 2022 13:34 | ||||||
Last Modified: | 22 Dec 2022 13:34 | ||||||
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/42659 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
View Item |