Hidayat, Abd Rahman (2024) Model kebijakan Pengadilan Agama dalam menurunkan tingkat Dispensasi Nikah: Studi kasus di Pengadilan Agama Watampone, Kab. Bone, Sulawesi Selatan. Masters thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Text (Fulltext)
220201210006.pdf - Accepted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (2MB) |
Abstract
ABSTRAK
Kenaikan batas usia pernikahan melalui undang-undang No. 16 Tahun 2019 dari yang sebelumnya adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Kenaikan ini menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan permohonan dispensasi nikah. Oleh karena itu pengadilan memiliki tanggung jawab dalam menjaga kestabilan dan integritas pernikahan harus berupaya untuk meminimalisir terjadinya pernikahan dini. Pengadilan Agama Watampone menjadi salah satu pengadilan yang berupaya untuk menjaga kestabilan dan integritas pernikahan dengan berbagai upaya dilakukan. Hal ini terbukti Pengadilan Agama Watampone berhasil menurunkan tingkat dispensasi nikah sejak tahun 2019 hingga 2022. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis kebijakan Pengadilan Agama Watampone dalam upaya menurunkan angka dispensasi nikah perspektif teori efektivitas hukum, (2) menganalisis kendala Pengadilan Agama Watampone dalam menurunkan tingkat dispensasi nikah di Kabupaten Bone, (3) menganalisis upaya Pengadilan Agama Watampone dalam menghadapi kendala dalam menurunkan angka dispensasi nikah.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dengan menggunakan pendekatan Kualitatif. Data primer penelitian ini bersumber dari proses menemukan data-dat melalui wawancara dengan informan dan data primer bersumber dari buku-buku, jurnal dan tulisan yang berkaitan dengan tema penelitian. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan tahapan (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) Penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian: (1) Kebijakan ini lahir setelah dikeluarkan PERMA No. 5 Tahun 2019. Kebijakan pengadilan agama mewajibkan pendaftar permohonan dispensasi nikah harus memiliki rekomendasi dari DP3A, tanpa rekomendasi tersebut permohonan tidak dapat didaftarkan. Kebijakan ini berjalan efektif berdasarkan teori efektivitas hukum. Pertama, faktor hukum yang menjadi landasan lahirnya kebijakan tersebut. Kedua, penegak hukum dalam hal ini adalah Pengadilan Agama Watampone telah melakukan upaya dalam meningkatkan pengetahuan dan wawasan Masyarakat. Ketiga, sarana prasarana yang menjadi penunjang dalam menegakkan hukum dan kebijakan yang berlaku. Keempat, faktor Masyarakat. Masyarakat memiliki peran yang penting terhadap efektivitasnya sebuah kebijakan. Kelima, faktor budaya yang memiliki dampak terhadap kepatuhan masyarakat terhadap aturan dan kebijakan yang diterapkan. (2) Kendala yang dihadapi oleh Pengadilan agama Watampone dalam menerapkan kebijakan adalah pertama letak geografi pada beberapa wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Watampone sehingga sulitnya akses terhadap hukum, kedua, kultur masyarakat. (3) Upaya pengadilan Agama Watampone dalam menghadapi kendala adalah dengan melakukan sosialisasi. Hal ini menjadi langkah pengadilan oleh karena pengadilan sering kali menemukan pada beberapa daerah tidak mengetahui adanya perubahan terhadap aturan dan kebijakan baru yang dijalankan. Selain itu pengadilan juga melakukan kolaborasi kepada pemerintah setempat (desa, imam desa, tokoh agama) untuk membantu melakukan sosialisasi keda Masyarakat, sehingga mereka memiliki pengetahuan tentang kebijakan dan aturan yang berlaku utamanya seputar pernikahan.
ABSTRACT
The increase in the age limit for marriage through Law No. 16 of 2019 from the previous 16 years for women and 19 years for men to 19 years for both men and women. This increase is one of the causes of the increase in applications for marriage dispensation. Therefore, courts have a responsibility in maintaining the stability and integrity of marriage must strive to minimize the occurrence of early marriage. The Watampone Religious Court is one of the courts that strives to maintain the stability and integrity of marriage with various efforts made. It is proven that the Watampone Religious Court has succeeded in reducing the level of marriage dispensation from 2019 to 2022. This study aims to (1) analyze the policy of the Watampone Religious Court to reduce the number of marriage dispensations from the perspective of legal effectiveness theory, (2) analyze the constraints of the Watampone Religious Court in reducing the rate of marriage dispensation in Bone Regency, (3) analyze the efforts of the Watampone Religious Court in dealing with obstacles in reducing the number of marriage dispensations.
This research is empirical juridical research using a qualitative approach. The primary data of this study was sourced from the process of finding data-dat through interviews with informants and primary data sourced from books, journals and writings related to the research theme. The data obtained is then analyzed with stages (1) data reduction, (2) data presentation, (3) conclusions.
Research results: (1) This policy was born after the issuance of PERMA No. 5 of 2019. Religious court policy requires that applicants applying for marriage dispensation must have a recommendation from DP3A, without which the application cannot be registered. This policy runs effectively based on the theory of legal effectiveness. First, the legal factors on which the policy was born. Second, law enforcement in this case is the Watampone Religious Court has made efforts in increasing the knowledge and insight of the Community. Third, infrastructure that supports in enforcing applicable laws and policies. Fourth, the Community factor. The community has an important role in the effectiveness of a policy. Fifth, cultural factors that have an impact on community compliance with the rules and policies applied. (2) The obstacles faced by the Watampone Religious Court in implementing the policy are firstly the geographical location in some jurisdictions of the Watampone Religious Court so that access to the law is difficult, second, the culture of the community. (3) The efforts of the Watampone Religious court in dealing with obstacles are by conducting socialization. This is a court step because the court often finds that some regions are not aware of changes to the new rules and policies implemented. In addition, the court also collaborates with local governments (villages, village imams, religious leaders) to help socialize the community, so that they have knowledge of policies and rules that apply primarily around marriage.
مستخلص البحث
زيادة سن الزواج من خلال القانون رقم 16 في عام 2019 من 16 سنة سابقة للنساء و19 سنة للرجال إلى 19 سنة للرجال والنساء. وهذه الزيادة هي أحد أسباب زيادة طلبات الإعفاء من الزواج. ولذلك تقع على عاتق المحكمة مسؤولية الحفاظ على استقرار الزواج وسلامته ويجب أن تسعى جاهدة لتقليل حدوث الزواج المبكر. محكمة واتامبون الدينية هي إحدى المحاكم التي تسعى جاهدة للحفاظ على استقرار وسلامة الزواج من خلال الجهود المختلفة. وقد أثبتت محكمة واتامبون الدينية نجاحها في خفض معدل إعفاء الزواج من عام 2019 إلى عام 2022. ويهدف هذا البحث إلى (1) تحليل سياسة محكمة واتامبون الدينية في محاولة لتقليل معدل إعفاء الزواج من عام 2019 إلى عام 2022. منظور نظرية الفعالية القانونية، (2) تحليل معوقات محكمة واتامبون الدينية في تقليل معدل توزيع الزواج في مقاطعة بون، (3) تحليل جهود محكمة واتامبون الدينية في التعامل مع العقبات في تقليل عدد عقود الزواج.
هذا البحث هو بحث قانوني تجريبي باستخدام المنهج النوعي. تأتي البيانات الأولية لهذا البحث من عملية العثور على البيانات من خلال المقابلات مع المخبرين وتأتي البيانات الأولية من الكتب والمجلات والكتابات المتعلقة بموضوع البحث. ثم تم تحليل البيانات التي تم الحصول عليها باستخدام المراحل (1) تقليل البيانات، (2) عرض البيانات، (3) استخلاص النتائج.
نتائج البحث: (1) ولدت هذه السياسة بعد صدور PERMA رقم 5 لعام 2019. تتطلب سياسة المحكمة الدينية من مسجل طلب إعفاء الزواج أن يكون لديه توصية من DP3A ، وبدون هذه التوصية لا يمكن تسجيل الطلب. هذه السياسة فعالة على أساس نظرية الفعالية القانونية. أولا ، العامل القانوني الذي هو أساس ولادة السياسة. ثانيا ، إنفاذ القانون في هذه القضية هو أن محكمة وامبوني الدينية بذلت جهودا لزيادة المعرفة العامة والبصيرة. ثالثا، مرافق البنية التحتية التي تدعم إنفاذ القوانين والسياسات المعمول بها. رابعا ، عامل المجتمع. للمجتمع المحلي دور مهم في فعالية السياسة. خامسا، العوامل الثقافية التي تؤثر على امتثال الناس للقواعد والسياسات المنفذة. (2) العقبات التي تواجهها محكمة وامبوني الدينية في تنفيذ السياسة هي أولا، الموقع الجغرافي في عدة مناطق خاضعة لولاية محكمة وامبوني الدينية، بحيث يصعب الوصول إلى القانون، وثانيا، ثقافة المجتمع. (3) والجهود التي تبذلها محكمة وامبوني الدينية في التصدي للعقبات تتمثل في التنشئة الاجتماعية. هذه خطوة من قبل المحكمة لأن المحكمة غالبا ما تجد أنها في بعض المناطق ليست على علم بأي تغييرات في القواعد والسياسات الجديدة التي يتم تنفيذها. بالإضافة إلى ذلك ، تتعاون المحكمة أيضا مع الحكومة المحلية (القرية ، كاهن القرية ، الزعماء الدينيون) للمساعدة في الاختلاط الاجتماعي للمجتمع ، حتى يكون لديهم معرفة بالسياسات والقواعد التي تنطبق ، خاصة فيما يتعلق بالزواج.
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Supervisor: | Hidayah, Khoirul and Lutfi, Mustafa |
Keywords: | Model Kebijakan, Pengadilan Agama, Dispensasi Nikah, Teori Efektivitas Hukum; Policy Model, Religious Courts, Marriage Dispensation, Theory of Legal Effectiveness; موذج السياسة، المحكمة الشرعية، إعفاء الزواج، نظرية فعالية القانون |
Subjects: | 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1801 Law > 180128 Islamic Family Law > 18012821 Nikah Dini |
Departement: | Sekolah Pascasarjana > Program Studi Magister al-Ahwal al-Syakhshiyyah |
Depositing User: | Abd Rahman Hidayat |
Date Deposited: | 07 Jun 2024 10:28 |
Last Modified: | 07 Jun 2024 10:28 |
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/63794 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
View Item |