Alam, Syariful (2011) Kontroversi Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA): Studi pandangan para kiai di Ponorogo tentang sanksi pidana pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan. Masters thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Text (Fulltext)
09780014.pdf - Accepted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (1MB) |
Abstract
INDONESIA:
Menurut hukum Islam, suatu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan syariat agama Islam, memenuhi ketentuan rukun dan syarat-syarat yang tercantum dalam Al Qur’an dan Hadis. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diatur dalam Pasal 2 disebutkan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, kemudian suatu perkawinan hendaknya dicatatkan. Meskipun pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, karena suatu perkawinan sudah dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama/kepercayaannya, akan tetapi pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat perkawinan yang diakui keberadaannya oleh negara.
Untuk memfokuskan kajian, lokus yang dipilih dalam penelitian ini adalah kota Ponorogo dengan pertimbangan bahwa permasalahan perkawinan yang tidak dicatatkan mayoritas terjadi di kalangan pesantren, sehingga yang menjadi bidikan penelitian adalah para pengasuh pesantren yaitu para Kiai yang ada di kota Ponorogo dalam pandangannya mengenai maslahah dan mafsadat perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian sosiologis-empiris, dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan), yang mana penelitian ini menitikberatkan pada hasil pengumpulan data dari informan yang telah ditentukan.. Untuk mengecek validitas data penelitian, dipergunakan metode wawancara serta dokumentasi data untuk menganalisis temuan penelitian.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa para Kiai di Ponorogo berbeda pendapat mengenai sanksi pidana perkawinan yang tidak dicatatkan. Ada yang menyetujui sanksi pidana tersebut dengan alasan agar hak-hak istri dan anak dapat terpenuhi. Sedangkan ada pula yang tidak menyetujui adanya sanksi pidana pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan dengan dalih bahwa permasalahan ibadah tidak bisa dicampur adukkan dengan sanksi pidana. Selain itu juga ada yang menjustifikasi bahwa RUU HMPA Bidang Perkawinan belum kuat dengan alasan bahwa belum ada aturan berapa lama tenggang waktu perkawinan yang tidak dicatatkan itu akan diitsbatkan di KUA, sehingga sanksi pidana bagi pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut menjadi dilematis. Sehingga sanksi pidana dalam Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama membutuhkan survey dan penyelarasan pendapat dari seluruh lapisan strata masyarakat sehingga memberi kekuatan hukum yang universal nantinya.
ENGLISH:
According to Islamic law, a valid marriage is a marriage made in accordance with Islamic Shari'a, harmonious and comply with the terms set forth in the Qur'an and Hadith. While in Law No. 1 of 1974 as stipulated in Article 2 states that a marriage is valid if conducted according to religious laws and beliefs of each, then a marriage should be listed. Although registration of marriage is not a legitimate requirement of a marriage, because a marriage is considered valid if performed according to the law of religion / belief, but the registration of marriage plays a very decisive in a marriage. Registration of marriage is a requirement that marriage recognized by the state.
To focus the study, loci chosen in this study is the city Ponorogo with the consideration that the marriage problems that are not listed among the majority in boarding schools, so that the shooting of research are the caretakers of the pesantren of Kiai in the city in his view about maslahah Ponorogo and mafsadat marriage that is not recorded it.
This research is a sociological-empirical research, with a qualitative approach. Methods of data collection in this research is field research (field research), which this study focuses on the results of collecting data from informants who have been determined .. To check the validity of research data, interviews and documentation of the methods used to analyze data the research findings.
The results of this study indicate that the Kiai in Ponorogo different opinions regarding the criminal sanctions of marriage that is not recorded. There are criminal sanctions agreed on the grounds that the rights of wives and children can be met. Whereas others do not agree that the perpetrators of criminal sanction marriages that are not listed on the pretext that the issue of worship can not be mixed with criminal sanctions. There was also justifies that the bill had a strong marriage HMPA Field on the grounds that there are no rules for how long a grace period of marriage that is not recorded it will diitsbatkan at KUA, so the criminal penalties for perpetrators of marriage that is not recorded such a dilemma. So that criminal sanctions in the draft Law of the Material Act requires the Religious opinion survey and alignment of all layers of strata of society so as to give legal force of a universal will.
Item Type: | Thesis (Masters) | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Supervisor: | Saiban, Kasuwi and Tamrin, Dahlan | |||||||||
Contributors: |
|
|||||||||
Keywords: | Sanksi Pidana Perkawinan; Kontroversi Pandangan Kiai; Criminal Sanction of Marriage; The View Controversy Kiai | |||||||||
Departement: | Sekolah Pascasarjana > Program Studi Magister al-Ahwal al-Syakhshiyyah | |||||||||
Depositing User: | Desi Latifah Hamzah | |||||||||
Date Deposited: | 11 Aug 2017 14:47 | |||||||||
Last Modified: | 08 Jan 2018 09:43 | |||||||||
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/7768 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
View Item |