Ilhami, Muhammad (2025) Makna pewarisan Harato Pusako Tinggi Minangkabau Perspektif Fath Adz-Dzari'ah: Studi pandangan tokoh adat Minangkabau Kelurahan Rawa Makmur Bengkulu. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
|
Text (Fulltext)
230201110167.pdf - Accepted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. (1MB) | Preview |
Abstract
ABSTRAK
Harato Pusako Tinggi sebagai bentuk pewarisan di Minangkabau yang menjadikan perempuan sebagai pewaris yang lebih dominan sehingga ini di nilai tidak relevan pewarisan faaraid dalam Islam. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendiskripsikan makna dari pewarisan harato pusako tinggi berdasarkan pandangan tokoh adat Minangkabau dalam memaknai dari sistem pewarisan harato pusako tinggi yang ada dalam masyarakat Minangkabau dan di Analisa menggunakan perspektif Fath adz-dzari’ah
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan menggunakan pendekatan empiris aktualistik deskriptif. Tempat lokasi penelitian ini berada di kelurahan Rawa Makmur Bengkulu. Sumber data yang digunakan berupa sumber data primer berupa wawancara para tokoh adat Minangkabau yang berada di Kelurahan Rawa Makmur Bengkulu, dan sumber sekunder berupa beberapa literatus yang mmembahas mengenai harato pusako tinggi dan buku-buku serta jurnal yang berkaitan dengan penelitian.
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwasanya: Berdasarkan pandangan tokoh adat Minangkabau yang berada di Kelurahan Rawa Makmur Bengkulu, dalam praktik pewarisan harato pusako tinggi di Kelurahan Rawa makmur seharusnya masih sama dengan daerah asalnya, yaitu Sumatra Barat dan juga menyesuaikan kondisi di daerah rantaunya. Hanya saja, belum ada ditemukan praktiknya secara langsung di perantauan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya masyarakat Minangkabau yang telah lama merantau ke Bengkulu dan tidak memahami lagi adat Minangkabau. Berkaitan dengan makna dari pewarisan harato pusako tinggi Minangkabau dengan menggunakan konsep Fatḥ Adz-Dzarī‘ah pewarisan ini dapat dikategorikan sebagai wasilah atau dzari’ah dalam mencapai kemaslahatan yang lebih luas. Hal ini didasarkan pada tujuan pada pewarisan harato pusako tinggi yang dinilai tidak sesuai dengan pewarisan Islam, tetapi dengan menerapkannya maka kita akan mengetahui makna dari pewarisan tersebut. Dengan mengetahui lebih dalam makna dari pewarisan harato pusako tinggi tersebut maka penulis menilai bahwa pewarisan tersebut sejalan dengan konsep Fatḥ Adz-Dzarī‘ah.
ABSTRACT
Harato Pusako Tinggi is a traditional form of inheritance in Minangkabau society that places women in a more dominant role as heirs. This practice is often considered inconsistent with the Islamic inheritance system (farā’iḍ). This study aims to describe the meaning of Harato Pusako Tinggi inheritance based on the perspectives of Minangkabau traditional leaders and to analyze it through the lens of Fatḥ Adz-Dzarī‘ah.
This research is classified as empirical juridical research using an actualistic-descriptive empirical approach. The study was conducted in Rawa Makmur Sub-district, Bengkulu. Primary data were obtained through interviews with Minangkabau traditional leaders in the area, while secondary data were gathered from literature discussing Harato Pusako Tinggi, as well as relevant books and academic journals.
The results show that, according to the Minangkabau traditional leaders in Rawa Makmur, the practice of Harato Pusako Tinggi inheritance should ideally remain consistent with its origins in West Sumatra, while also adapting to conditions in the diaspora. However, direct practice of this inheritance system is rarely found in the diaspora due to the long-standing migration and declining understanding of traditional customs among Minangkabau people in Bengkulu. From the perspective of Fatḥ Adz-Dzarī‘ah, the inheritance of Harato Pusako Tinggi can be viewed as a means (wasīlah) to achieve broader societal benefit (maṣlaḥah). Although it may appear to conflict with Islamic inheritance law, a deeper understanding reveals its significance and underlying wisdom, thus aligning with the objectives of Fatḥ Adz-Dzarī‘ah in promoting social welfare and preserving customary values.
مستخلص البحث
تُعدّ "هاراتو بوساكو تنجي" شكلاً من أشكال الميراث العرفي في مجتمع المينانغكابو، حيث تُعطى الأولوية للنساء كورثة، وهو ما يُعتبر مخالفًا لتقسيم الميراث الإسلامي (الفرائض). يهدف هذا البحث إلى وصف معنى توريث "هاراتو بوساكو تنجي" من خلال آراء زعماء العرف من قبيلة المينانغكابو، وتحليله بمنظور "فتح الذريعة".
وقد اعتمد الباحث في هذا البحث على المنهج القانوني الإمبيريقي، باستخدام المنهج الوصفي الواقعي. وتمّ إجراء البحث في حي روا ماكمور، بنغكولو. واستُخدمت فيه مصادر أولية من خلال مقابلات مع زعماء العرف من قبيلة المينانغكابو المقيمين في تلك المنطقة، بالإضافة إلى مصادر ثانوية من الكتب والمراجع والمقالات المتعلقة بموضوع البحث.
وقد خلص البحث إلى أن توريث "هاراتو بوساكو تنجي" – بحسب زعماء العرف – لا يزال يجب أن يُمارس بنفس الطريقة كما هو الحال في موطنه الأصلي في سومطرة الغربية، مع مراعاة الظروف في مناطق المهجر. ولكن في الواقع، لم يتمّ العثور على تطبيق فعلي لهذا النظام في المهجر بسبب بُعد الكثير من أبناء المينانغكابو عن أعرافهم الأصلية. وبالنظر إلى معنى هذا التوريث من خلال مفهوم "فتح الذريعة"، يمكن اعتباره وسيلة لتحقيق مصلحة عامة أوسع. فرغم أن هذا التوريث قد لا يتوافق ظاهريًا مع الشريعة الإسلامية، إلا أن فهم معناه العميق يبيّن أنه يتماشى مع مقاصد الشريعة من خلال "فتح الذريعة".
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
![]() |
View Item |