Ruslan, Ruslan (2011) Efektivitas regulasi batas usia nikah dalam UU no. 1 tahun 1974 sebagai syarat pelaksanaan perkawinan: Studi kritis terhadap masyarakat Desa Ketapang Laok dan petugas KUA Kec. Ketapang Kab. Sampang. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
|
Text (Fulltext)
06210031.pdf - Accepted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (2MB) | Preview |
Abstract
INDONESIA:
Perkawinan merupakan ikatan suci (mîtsâqan ghalîdhan) antara dua insan yang telah berkomitmen untuk membina rumah tangga sakînah dalam bingkai mawaddah dan rahmah. Dalam rangka mencapai cita-cita tersebut, diperlukan adanya kedewasaan berfikir dan bertindak antara keduanya. Oleh karenanya, kematangan secara usia menjadi penting untuk diutamakan sebagai tolok ukur kesiapan seseorang dalam menyatukan visi hidup dengan pasangannya. Atas pertimbangan itu, Pemerintah kemudian meregulasikan batas minimal usia nikah, yaitu 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas) tahun bagi perempuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara Indonesia yang hendak melangsungkan perkawinan. Regulasi tersebut disinyalir tidak berlaku efektif di daerah pedesaan yang notabene warganya memiliki kualitas pengetahuan dan kesadaran hukum yang rendah.
Sebagai upaya pengukuran efektivitas keberlakuan regulasi tersebut, dilakukan penelitian dalam jenis Sosio Legal Research di Desa Ketapang Laok, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun paradigma yang digunakan adalah Paradigma Konstruktivisme. Hal ini didasarkan pada realitas sosial masyarakat setempat yang disandarkan pada konstruksi mental dan pengalaman sosial bersifat lokal. Sedangkan penghinpunan data dilakukan dengan cara observasi yang diikuti dengan wawancara terhadap tokoh masyarakat dan petugas KUA setempat.
Dengan menggunakan metode penelitian tersebut, disimpulkan bahwa Desa Ketapang Laok Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang belum memberi ruang yang luas terhadap efektivitas keberlakuan regulasi batas usia nikah tersebut. Manipulasi data menjadi tindakan lumrah dan terkesan dianggap sebagai langkah alternatif oleh para tokoh masyarakat untuk mengelabuhi petugas KUA. Dan bahkan diakui oleh salah satu oknum petugas KUA bahwa dirinya pernah membantu menaikkan usia nikah calon pengantin agar dapat dicatatkan dalam akta nikah kendati pun yang bersangkutan belum cukup umur. Beberapa upaya perbaikan pelayanan dalam rangka meningkatkan efektivitasnya diakui telah dilakukan oleh para pihak. Walhasil, secara perlahan, masyarakat setempat mulai sadar arti penting perkawinan, sehingga angka perkawinan dini semakin turun. Namun demikian, diakui oleh para tokoh masyarakat dan petugas KUA setempat bahwa Regulasi Batas Usia Nikah tersebut belum berlaku efektif di desa tersebut.
ENGLISH:
Marriage is a sacred bond (mîtsâqan ghalîdhan) between a man and a woman who has committed to fostering a safe household (sakinah) in the frame of affection (mawaddah) and mercy (rahmah). In order to achieve that goal, both of them need the maturity to think and act in their relationship. Therefore, the age of maturity is important to take precedence as the measurement one's readiness to be able to unify the vision of living with one’s partner. Because of that considerations, the Government regulated the minimum age of marriage, namely 19 (Nineteen) years for men and 16 (sixteen) years for women as enshrined in Article 7 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 as one of the prerequirements to be fulfilled by every Indonesian citizen who want to get married. These regulations are allegedly not effective in rural areas that in fact its citizens have low quality of legal knowledge and awareness.
As a means of measuring the effectiveness of the applicability of these regulations, conducted a research in the type of Socio Legal Research in the Ketapang Laok Village, Ketapang District, Sampang Regency by using a qualitative approach. This research uses constructivism paradigm. This is based on the social realities of local communities that relies upon a mental construction and local social experiences. While data collection was done by observation followed by interviews with the community leaders and the officials of KUA of that district.
By using these research methods, concluded that the Ketapang Laok Village, Ketapang District, Sampang Regency did not give extensive opportunities yet to the applicability of regulatory effectiveness of the marriage age limit. Data manipulation become commonplace actions and considered as alternative measures by village officials to befool the officials of KUA. And even one of KUA officials recognized that she had helped to raise the marriage age of brides for marriage to be recorded in the deed of married, even though one of brides is not reached the minimum age of marriage yet. Some efforts to improve the effectiveness of marriage age limit regulation is recognized has been done by the parties. As a result, slowly, local people began to realize the importance meaning of marriage, so the rate of early marriage on the downside. However, it is recognized by the parties that the Regulation of Marriage Age Limit is not effective yet at that village.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Supervisor: | Kumkelo, Mujaid | ||||||
Contributors: |
|
||||||
Keywords: | Efektivitas; Regulasi Batas Usia Nikah; Tokoh Masyarakat Desa; Petugas KUA; Effectiveness; Marriage Age Limit Regulation; Community Leaders of Ketapang Laok Village; Officials of KUA | ||||||
Departement: | Fakultas Syariah > Jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah | ||||||
Depositing User: | Imam Rohmanu | ||||||
Date Deposited: | 24 Jul 2017 15:54 | ||||||
Last Modified: | 24 Jul 2017 15:54 | ||||||
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/7131 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
View Item |