Mutammimah, Bidayatul (2022) Wali pernikahan dalam Mazhab Syafi’i perspektif Filsafat Hukum Islam. Masters thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Text (Fulltext)
220201210046.pdf - Accepted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (2MB) |
Abstract
ABSTRAK
Status wali dalam pernikahan merupakan satu topik pembahasan yang tidak dapat ditemukan ujungnya. Para ulama -mulai dari ulama klasik hingga ulama kontemporer- tak pernah satu suara dalam hal ini. Sebagian menjadikan wali sebagai rukun pernikahan dan sebagian yang lain tidak. Namun di sisi lain, sempat terjadi penolakan terhadap permohonan isbat nikah di Indonesia dengan alasan bahwa yang menjadi wali dalam pernikahan bukan merupakan wali yang berhak. Hal ini menunjukkan bahwasanya seorang wali dalam pernikahan merupakan pihak yang sangat diperhitungkan dalam keabsahan pernikahan. Sehingga perlu menganalisis argumentasi flosofis disyaratkannya wali dalam pernikahan. Hal ini yang menjadi fokus penelitian ini dengan menggunakan pisau analisis berupa filsafat hukum islam.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan filosofis. Sumber data yang digunakan ialah data sekunder, yakni data kepustakaan yang berkaitan dengan kajian terkait wali pernikahan dan filsafat hukum islam. Teknik pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data menggunakan analisis konten.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) wali menjadi rukun secara mutlak dalam pernikahan bagi Mazhab Syafi’i, sehingga akad nikah tidak dapat dikatakan sah jika dilangsungkan tanpa adanya wali yang berhak, hal ini memiliki dasar hukum yang sahih, baik dari al-Quran ataupun hadis, juga didukung dengan adanya argumentasi yang kuat, baik dengan kaidah fikih ataupun dengan metode lain untuk menetapkan (ketentuan) menjadi rukunnya tersebut. (2) (ketentuan) menjadi rukunnya wali dalam pernikahan Mazhab Syafi’i merupakan langkah pencegahan (sadd al-zarī’ah) perbuatan zina, karena perempuan yang mengakadkan dirinya sendiri bagaikan pezina yang bertransaksi atas dirinya sendiri, sehingga keabsahan pernikahan bergantung pada adanya wali pada proses akad nikah, selain itu juga merupakan wasilah untuk mencapai tujuan, baik tujuan khusus yang berpengaruh pada kehidupan rumah tangga ataupun tujuan umum yang berpengaruh pada kehidupan sosial. (3) hikmah (ketentuan) menjadi rukunnya wali dalam pernikahan ialah untuk memelihara kafaah yang merupakan hak bagi wali dan (calon mempelai) perempuan, karena adanya kafaah berperan sebagai penunjang ketahanan keluarga, sehingga berpengaruh pada pembinaan keluarga sakinah, selain itu juga untuk menjaga kemuliaan perempuan, karena secara naluriah seorang perempuan menyimpan rasa malu dalam dirinya untuk memperlihatkan “keinginannya” untuk menikah.
ABSTRACT
The status of the guardian in marriage is a topic of discussion that has no end in sight. The scholars - from classical scholars to contemporary scholars - have never been unanimous in this matter. Some make the guardian a pillar of marriage and others do not. On the other hand, there was a rejection of the application for isbat nikah in Indonesia on the grounds that the guardian in marriage is not the rightful guardian. This shows that a guardian in marriage is a party that is very calculated in the validity of marriage. So it is necessary to analyse the philosophical arguments required by the guardian in marriage. This is the focus of this research using an analytical knife in the form of Islamic legal philosophy.
This research is a library research using a qualitative approach and a philosophical approach. The data source used is secondary data, namely literature data related to studies related to marriage guardians and Islamic legal philosophy. The data collection technique uses the documentation method. While the data analysis technique uses content analysis.
The results of this study indicate that: (1) the guardian becomes an absolute pillar in marriage for the Shafi'i Mazhab, so that the marriage contract cannot be said to be valid if it is carried out without the rightful guardian, this has a valid legal basis, both from the Qur'an and hadith, also supported by strong arguments, either by fiqh rules or by other methods to determine (provisions) to be the pillar. (2) (provision) being a pillar of the guardian in marriage in the Shafi'i Mazhab is a preventive measure (sadd al-zarī'ah) of adultery, because a woman who contracts herself is like an adulterer who transacts on herself, so the validity of marriage depends on the presence of a guardian in the marriage contract process, besides that it is also a means to achieve goals, both specific goals that affect domestic life or general goals that affect social life. (3) The wisdom (provision) of being a pillar of the guardian in marriage is to maintain kafaah, which is the right of the guardian and the woman (prospective bride), because kafaah acts as a support for family resilience, so that it affects the development of a sakinah family, besides that, it is also to protect the honour of women, because instinctively a woman saves shame in herself to show her ‘desire’ to get married.
مستخلص البحث
الولي في النكاح هي دراسة لا يجد لها نهاية يختلفون العلماء من العلماء السلافيين إلى العلماء المعاصرين هذه المسألة, يجعلون بعضهم الولي ركنًا من أركان النكاح، وبعضهم لا يجعله ركنًا. ولكن من ناحية أخرى، كان هناك يرد لتطبيق إسباط النكاح في إندونيسيا لأن الولي في النكاح ليس ولاية لها. وهذا يدل على أن ولي النكاح هو مهم في صحة النكاح. ولذالك يمبغي أن ندرس حجة الفلسفية علي أن الولي شرطا في صحة النكاح.و هذا موضوع البحث بنظر فلسفة الشريعة الإسلامية.
هذا البحث عبارة عن بحث أدبي باستخدام المنهج النوعي والمنهج الفلسفي. مصدر البيانات المستخدمة مصدر البيانات المستخدم هو البيانات الثانوية، وهي البيانات الأدبية المتعلقة بالدراسات حق ولاية في النكاح والفلسفة الشرعية الإسلامية. أسلوب جمع البيانات باستخدام أسلوب التوثيق. بينما يستخدم أسلوب تحليل البيانات باستخدام تحليل المضمون.
نتائج هذه الدراسة: (١) أن الولي ركن من أركان النكاح مطلاقا عند الشافعية ، فلا يصح عقد النكاح إذا انعقد الولي له ولاية في النكاح وهذا له أصل صحيح ،هو القرآن والحديث و حجة صحيحية، إما من القواعد الفقهية أو من طرق أخرى لإثبات هذا الشرط. (٢) كان الولي ركنا لِصحة النكاح عند الشافعية هي مانع (سذ الذاريعة) من الزنا لأن المرأة التي نكح بنفسها كالزانية التي يعقد على نفسها تكون صحة النكاحيتوقف على وجود الولي عقد النكاح وهي أيضًا وسيلة لتحقيق غاية، إما غاية محددة تؤثر على الحياة الزواج أو غاية عامة تؤثر على الحياة الاجتماعية. (٣) والحكمة من كون الولي ركنا من اركان النكاح هو المحافظة على الكفاءة التي هي حق للولي والزوجة، لأن وجود الكفاءة ثابة بقوية الأسرة، و لها أثر في تربية الأسرة السكينة، و محافظة على شرف المرأة، لأن المرأة بفطرتها تحمل هيبة في نفسها لإظهاررغبتها في النكاح، فتشعرالحياء عن الزواج بنفسها.
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Supervisor: | Zenrif, M. Fauzan and Toriquddin, Moh |
Keywords: | Wali Pernikahan, Mazhab Syafi’i, Filsafat Hukum Islam |
Subjects: | 22 PHILOSOPHY AND RELIGIOUS STUDIES > 2299 Other Philosophy and Religious Studies > 229999 Philosophy and Religious Studies not elsewhere classified |
Departement: | Sekolah Pascasarjana > Program Studi Magister al-Ahwal al-Syakhshiyyah |
Depositing User: | Bidayatul Mutammimah |
Date Deposited: | 14 Aug 2024 11:08 |
Last Modified: | 15 Aug 2024 09:33 |
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/68525 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
View Item |