Sari, Feri Arisa (2009) Tradisi Ndhudut, Nonjok, Ngirem Nganten dalam perkawinan Jawa perspektif gender: Kasus di Desa Karang Agung Kecamatan Palang Kabupaten Tuban. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Text (Fulltext)
05210012.pdf - Accepted Version Restricted to Repository staff only Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (11MB) | Request a copy |
Abstract
ABSTRAK
Setiap daerah mempunyai tradisi perkawinan yang berbeda-beda, walaupun sama-sama mengunakan adat perkawinan Jawa, akan tetapi tradisi perkawinan tentang perempuan melakukan ndhudut, nonjok, ngirem nganten kepada laki-laki ini tidak didapati di lain daerah selain lingkup Tuban. Ndhudut merupakan ritual pemberian paningset dan jajanan ndhudutan setelah melamar, sedangkan nonjok adalah memberikan asoktukon berupa barang-barang mentah seperti kambing, sampel, beras dan perlengkapan dapur lainnya atau makanan matang kepada calon suami sebelum akad nikah, sedangkan setelah menikah perempuan wajib melakukan ngirem nganten kepada keluarga laki-laki sebagai penghormatan kepadanya. Biaya yang digunakan dalam tradisi ini tidak sedikit akan tetapi anehnya dana prosesi ritual tersebut murni dari pihak perempuan, sedangkan laki-laki tidak mengeluarkan biaya apa-apa. Kaya atau miskin tradisi tersebut harus tetap dilakukan oleh pihak perempuan sehingga tak jarang para pelaku tradisi tersebut terjerat hutang. Tradisi tersebut memberatkan pihak perempuan akan tetapi, tradisi tersebut tetap dilakukan karena adat yang sudah mengakar dalam masyarakat. Jika tidak dilakukan oleh pihak perempuan, masyarakat akan menggunjingnya dan merendahkannnya. Hal inilah yang kemudian peneliti rasa menjadi penting untuk diketahui lebih jauh dan pantas kiranya untuk ditelusuri, sehingga peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Faktor apa yang melatarbelakangi munculnya tradisi ndhudut, nonjok, ngirem nganten? 2. Bagaimana pandangan masyarakat Karang Agung tentang tradisi ndhudut, nonjok, ngirem nganten?
Penelitian ini menggunakan paradigma definisi sosial dengan jenis penelitian field research yang bersifat deskriptif kualitatif dengan mengunakan pendekatan fenomenologi. Adapun sumber data berupa data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian diolah melalui tiga tahap yaitu editing, classifaying, verifying. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif fenomenologi perspektif gender.
Adapun hasil penelitian ini antara lain: faktor yang melatar belakangi munculnya tradisi ndhudut, nonjok, ngirem nganten ini adalah adanya mitos bahwa darah haid sebagai penghalang rejeki dan mendatangkan kesialan sehingga mereka beranggapan bahwa seorang perempuan tidak layak untuk menjadi penerus sang ayah dalam pengelolahan perahu. Dan dianggap tidak dapat bertanggungjawab dalam keluarga sehingga seorang ayah berupaya keras untuk mencari seorang laki-laki sebagai penerusnya, yang dapat bertanggungjawab atas putrinya kelak. Hal ini menimbulkan konstruksi sosial di masyarakat yang menganggap bahwa seorang laki- laki layak mendapatkan penghormatan dari pihak perempuan. Sedangkan dalam memandang eksistensi tradisi ndhudut, nonjok, ngirem nganten ini masyarakat terbagi menjadi 2 golongan yaitu ada yang setuju dan tidak setuju. masyarakat tradisionalis orde moral/ golongan teluan merupakan golongan yang setuju sedangkan golongan modernis adalah golongan yang tidak setuju karena tradisi tersebut memberatkan perempuan serta tidak sejalan dengan ajaran Islam. Tradisi ndhudut, nonjok, ngirem nganten termasuk kebiasaan buruk (Urf fasid) karena mengandung kemudhorotan dan bertentangan dengan ajaran Islam. Tradisi ndhudut, nonjok, ngirem nganten merupakan bentuk marginalisasi, subordinasi, Violence, dan Stereotip pada perempuan.
ABSTRACT
Each region has a different wedding tradition. Although they all use Javanese wedding tradition, the tradition of ndhudut, nonjok and ngirem nganten will only be found in Tuban wedding tradition. Ndhudut is a ritual of peningset gift and ndhudutan dish after proposing marriage; while, nonjok is giving asoktukon in the form of raw good such as goat, cow mat, rice, and several kitchen necceries or cooked dish to the husband to be before marriage settlement. Whereas, after marriage the female is to do ngirem nganten to the male family to show her admiration to him. This tradition spends quite a lot of money. In fact, all of those rituals are afforded by the female family; otherwise, the male’s family does not spend any penny. This tradition does not differ whether the female’s family is rich or not, everybody has to do it. As the result, the female’s family is often trapped by a great number of debts. This tradition is quite burdened the female’s family, but it has been rooted in this society. Moreover, the society will underestimate those families who do not hold this tradition in their daughters’ wedding process. Accordingly, there are two problem of study in this case: 1. What factor influence the emergence of ndhudut, nonjok, and ngirem nganten tradition? 2. How does the society thinks about this tradition?
This study uses social definition paradigm and is a descriptive qualitative field research by using phenomenology approach. The data used in this study was primer and secondary data collected by observation, interview, and documentation. Later the data obtained was processed through three steps that were editing, classifying, and verifying. Then, it was analyzed by using gender perspective-based phenomenological qualitative analysis.
The result of this study showed that the factor undergrounded the emergence of ndhudut, nonjok, ngirem nganten tradition was the myth believed by the society stated that menstruation taboo as prosperity resistance and will cause bad luck, so the society argued that female did not deserve to be her father’s inheritance in maintaining his boat. Female was also not responsible in the family; thus, father should try hard to find a male to be his transformer-responsible to his daughter later. Therefore, the society believed that a male deserved to get that admiration from female. On the other hand, in term of traditions existence of ndhudut, nonjok, and ngirem nganten, the society were divided into two groups that were agree group and disagree group. The first group consisted of the telu’an/ traditional group; while the second group consisted of the modern group since it was not stated in the al-Qur’an. In addition, the traditions of ndhudut, nonjok, and ngirem nganten is a bad tradition (urf fasid) for it contents badness and is contrary to the Islamic indoctrinate. The tradition of ndhudut, nonjok, and ngirem nganten is a form of marginalism, subordination, violence, and stereotyping of female.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Supervisor: | Roibin, Roibin |
Keywords: | tradisi; ndhudut; nonjok; ngirem nganten; perkawinan jawa; tradition; Ndhudut; Nonjok; Ngirem Nganten; Javanese Wedding |
Departement: | Fakultas Syariah > Jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah |
Depositing User: | Mohammad Rofiul Achsan |
Date Deposited: | 23 Jul 2024 13:17 |
Last Modified: | 23 Jul 2024 13:17 |
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/67674 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
View Item |