Zulaicha, Siti (2009) Posisi mahkamah syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem peradilan di Indonesia. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Text
05210038.pdf - Accepted Version Restricted to Repository staff only Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (595kB) | Request a copy |
Abstract
ABSTRAK
Menurut catatan sejarah, Aceh merupakan daerah pertama masuk dan berkembangnya agama Islam di bumi nusantara ini. Pada zaman jayanya kerajaan Aceh Darussalam, hukum yang berlaku adalah hukum yang bersumber dari syari’at Islam. Di samping itu adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh juga adat istiadat yang bersumber dan sejalan dengan hukum islam. Lembaga peradilan Islam pada masa kerajaan Aceh dipegang oleh Qadhi Malikul Adil yang berkedudukan di ibu kota kerajaan, dimana lembaga ini dapat disamakan dengan Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi. Sedangkan di masing-masing daerah uleebalang terdapat Qadhi Uleebalang.
Dalam masa penjajahan Belanda, sistem Peradilan Islam yang telah ada di Aceh turut diubah sesuai dengan kepentingan penjajah waktu itu. Pengadilan Agama di daerah ini waktu itu merupakan bagian dari Pengadilan Adat.Di awal kemerdekaan Republik Indonesia keberadaan Mahkamah Syar`iyah (Pengadilan Agama) di Aceh selain merupakan kelanjutan dari Mahkamah Agama di zaman Jepang, juga didasarkan pada kawat Gubernur Sumatera (Mr. Teuku. Muhammad Hasan) bertanggal 13 Januari 1947 No. 189 dan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatera bertanggal 22 Pebruari 1947 No. 226/3/Djaps yang berisi perintah untuk membentuk Mahkamah Syar`iyah di Aceh
Sebagai upaya menentukan arah politik hukum sebagaimana digariskan oleh GBHN tahun 1999-2004, maka dengan keluarnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 (Undang- Undang Nomor 11 tahun 2006) untuk wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dideklarasikan adanya Peradilan Syari’at Islam sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun (pasal 25 ayat (1) Undang- undang Nomor 18 tahun 2001 / pasal 128 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006).
Untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di masa depan Mahkamah Syar’iyah sebagai peradilan Islam mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya pelaksanaan Syari’at Islam secara kaffah. Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh atau Jihad dari segala komponen masyarakat di Nanggroe ini, terutama upaya yang terus menerus meningkatkan SDM, profesionalitas, integritas dan kualitas ketaqwaan dari insan-insan tenaga perangkat Gampong. Disamping itu jihad yang sungguh-sungguh juga masih terus diperlukan untuk memperjuangkan pesan-pesan yang telah dinukilkan dalam Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 44 tahun 1999, Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 menjadi kenyataan
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Supervisor: | Jundiani, Jundiani |
Keywords: | otonomi; mahkamah syari'ah |
Subjects: | 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1801 Law > 180104 Civil Law and Procedure 18 LAW AND LEGAL STUDIES > 1899 Other Law and Legal Studies > 189999 Law and Legal Studies not elsewhere classified |
Departement: | Fakultas Syariah > Jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah |
Depositing User: | Nada Auliya Sarasawitri |
Date Deposited: | 22 Jul 2024 13:35 |
Last Modified: | 22 Jul 2024 13:35 |
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/67621 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
View Item |