Kekuatan dan akibat hukum pernikahan wanita hamil menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam: Studi kasus di KUA Singosari

ABSTRAK

Pernikahan adalah merupakan ikatan dhohir batin selamanya untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah warohmah, maka harus didasari atas cinta kasih dan tidak boleh atas dasar paksaan atau yang lain. Untuk menjaga kesucian dari seorang perempuan, maka seorang wanita harus menjaga dalam pergaulan bebas supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti halnya hamil diluar nikah. Oleh karena itu orang tua harus selalu memantau anaknya dalam hal pertumbuhan dan pergaulannya. Apalagi pada saat sekarang ini zaman sudah kembali pada asalnya (rusak), banyak seseorang yang berpakaian yang tidak layak untuk dipakai oleh seorang muslim atau muslimah.

Dalam hal ini peneliti menggunakan metode kualitatif yakni dikenal juga dengan pendekatan inkuiri naturalistik atau alamia (natural setting) sebagai sumber data langsung dan peneliti sendiri sebagai instrumen kunci. Penelitian ini berupa studi kasus dalam bentuk wanita hamil diluar nikah kemudian dinikahi oleh orang lain yang bukan menghamilinya, serta dipandang menurut Syariat Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Studi kasus ialah penelitian mendalam pada suatu setting atau suatu obyek atau suatu dokumen atau suatu subyek tunggal atau suatu peristiwa tertentu. Studi kasus bertujuan untuk mempertahankan keutuhan dari pada obyek artinya dari data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus diperhatikan sebagai suatu keseluruhan yang berintegrasi, adapun penelitian ini adalah salah satu jenis dari penelitian hukum sebagai norma. Tehnik pengumpulan data dilapangan dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu; Metode observasi, metode interview dan metode dokumenter.

Adapun mengenahi hukum pernikahan wanita hamil yang dinikahi oleh orang yang bukan menghamilinya ini para Ulama' berbeda pendapat. Imam Syafi'i dan maliki berpendapat bahwa menikahi wanita hamil oleh orang yang bukan menghamilinya hukumnya adalah sah dan tidak usah menunggu lahirnya janin. Dan tidak usah akad ulang apabila janin tersebut telah lahir. Akan tetapi sebelum janin tersebut telah berumur enam bulan, apabila lebih maka tidak sah hukumnya begitu pula dalam hal kewalian dan kewarisannya. Kalau menurut Imam Hanafi ini adalah seperti halnya pendapatnya Imam Syafi'i dan maliki (sah) hanya saja sebelum janin itu lahir maka tidak boleh disetubuhi terlebih dahulu harus menunggu lahirnya janin. Sedangkan menurut Imam Hanbali hukumnya adalah tidak sah karena beliau berpegangan pada hadist nabi yang artinya, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan ahri akhir maka janganlah airnya menyirami tanaman orang lain (H.R. Timidzi). Begitu pula dalam segi kewalian dan kewarisannya tidak sah, hanya pada lbunya.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum [slam sama sekali tidak dijelaskan secara jelas, hanya saja dalam pasal 53 telah dijelaskan sebagai berikut:
1. Seorang wanita hamil, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat ( l) dapat dilangsungkan tanpa menunggu terlebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
Adapun dalam segi kewalian dan kewarisannya sama sekali tidak disinggung yang penting telah memenuhi dua syarat yaitu; syarat formil dan matriil.