Nafisah, Anja Idarotun (2022) Status bangunan Masjid dalam Hukum Islam: Studi kasus Masjid Hidayatulloh di Desa Kademangan Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
|
Text (Fulltext)
15210143.pdf - Accepted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (1MB) | Preview |
Abstract
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf memuat aturan tentang wakaf, bahwa masjid haruslah dibangun diatas tanah waqaf. Fokus pembahasan pada penelitian ini adalah Status Hukum Bangunan Masjid Dalam Hukum Islam di Desa Kademangan Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang sesuai dengan Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Jenis penelitian ini adalah empiris, dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh data yang bersifat deskriptif. Data utama adalah data primer berupa berupa wawancara dari informan kemudian data sekundernya berupa dokumen atau buku pendukung untuk mempermudah analisis hasil penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan menggunakan pendekatan Yuridis-Empiris. Sumber data yang digunakan berupa sumber primer data primer yakni wawancara dan observasi lapangan, dan sumber data sekunder berupa Peraturan Perundang-Undangan, buku, dan jurnal penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis mengenai Status Hukum Bangunan Masjid Dalam Hukum Islam (Studi Kasus Masjid Hidayatulloh Di Desa Kademangan Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menurut hukum Islam ada 2 hukum, yakni: pertama, sah berdasarkan pendapat para ulama’ yang mengumpamakan dengan peristiwa “jika ada tanah yang dibangun sebuah tempat duduk di teras dan kemudian diwakafkan sebagai masjid, maka hukumnya sah, seperti halnya wakaf pada lantai atas dan temboknya.” Hal ini menjelaskan bahwa wakaf yang ditujukan peruntukkanya untuk masjid tidak harus disertakan dengan tanahnya. Sedangkan yang kedua, tidak sah mengacu pada para ulama yang berargumen bahwa tanah yang belum diwakafkan kemudian dibangun masjid, maka hal itu tidak serta merta menjadikan tanah tersebut telah diwakafkan, melainkan tetap dalam pengusaan pemilikan tanah. Hal ini diumpamakan sebagai orang yang memberi izin kepada orang lain untuk sholat di atas tanah tersebut tetapi, berbeda dengan izin i’tikaf. Jika pemilik tanah telah mengizinkan orang lain untuk i’tikaf di tempat tersebut, maka seketika itu juga, tempat tersebut diakui menjadi masjid. Menurut Undang-Undang, status tanah dari bangunan Masjid Hidayatulloh tidak memenuhi unsur-unsur sebagaimana wakaf yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf seperti wakif, nadzir dan ikrar wakaf. Maka dalam perspektif peraturan perundang-undangan tanah yang dibangun Masjid Hidayatulloh tidak dapat dikategorikan sebagai tanah wakaf.
ABSTRACT
Law Number 41 of 2004 concerning Waqf contains rules regarding waqf, that mosques must be built on waqf land. The focus of the discussion in this study is the legal status of the mosque building in Kademangan Village, Pagelaran District, Malang Regency in accordance with Islamic Law and Law Number 41 of 2004 concerning Waqf. This type of research is empirical, using a qualitative approach that aims to obtain descriptive data. The main data is primary data in the form of interviews from informants then the secondary data is in the form of supporting documents or books to facilitate the analysis of research results.
This study uses a research method using a Juridical-Empirical approach. The data sources used are in the form of primary data sources, namely interviews and field observations, and secondary data sources in the form of laws and regulations, books, and research journals. Based on the data obtained, then an analysis was carried out regarding the Legal Status of Mosque Buildings on Non-Waqf Land (Case Study of the Hidayatulloh Mosque in Kademangan Village, Pagelaran District, Malang Regency).
The results of this study indicate that according to Islamic law there are 2 laws, namely: first, legal based on the opinion of the 'ulama' which likens the incident "if there is land where a seat is built on the terrace and then it is donated as a mosque, then the law is valid, just like waqf on the upper floors and the walls.”
This explains that waqf intended for mosques does not have to be included with the land.
While the second, illegitimate refers to scholars who argue that land that has not been donated is then built a mosque, so that does not necessarily mean that the land has been donated, but remains in control of land ownership. This is likened to a person giving permission to other people to pray on the land, however, it is different from i'tikaf permission. If the land owner has allowed other people to do i'tikaf in that place, then immediately, that place is recognized as a mosque. According to the law, the land status of the Hidayatulloh Mosque building does not fulfill the elements as waqf that have been stipulated by laws and regulations according to Law Number 41 of 2004 concerning Waqf such as waqif, nadzir and waqf pledges. So, from the perspective of legislation, the land built by the Hidayatulloh Mosque cannot be categorized as waqf land.
مستخلص البحث
يحتوي القانون رقم ٤١ لسنة ٢٠٠٤ بشأن الوقف على قواعد بشأن الوقف ، أن المسجد يجب أن يبنى على أرض الوقف. محور النقاش حول هذه الدراسة هو الوضع القانوني لبناء المسجد في قرية كاديمانجان ، منطقة باجيلاران ، مالانج ريجنسي وفقا للشريعة الإسلامية والقانون رقم ٤١ لعام ٢٠٠٤ بشأن الوقف.
هذا النوع من البحث تجريبي ، باستخدام نهج نوعي يهدف إلى الحصول على بيانات وصفية. البيانات الأولية هي البيانات الأولية في شكل مقابلات من المخبرين ثم البيانات الثانوية في شكل وثائق أو كتب داعمة لتسهيل تحليل نتائج البحث.
وتبين نتائج هذه الدراسة أنه وفقا للشريعة الإسلامية هناك ٢ قوانين ، وهي: أولا ، شرعية بناء على رأي العلماء الذين شبهوا الحدث" إذا كان هناك أرض بنيت مقعد على الشرفة ثم الوقف كمسجد ، ثم القانون صحيح ، وكذلك الوقف على الطابق العلوي والجدران."هذا يفسر أن الوقف المخصص للمسجد لا يجب أن يتم تضمينه مع الأرض. في حين أن الثانية ، فإنه لا يصح الإشارة إلى العلماء الذين يجادلون بأن الأرض التي لم تكن الوقف ثم بناء مسجد ، ثم أنها لا تجعل بالضرورة كانت الأرض الوقف ، ولكن لا يزال في ملكية الأرض. ويعتبر الشخص الذي يعطي الإذن للآخرين للصلاة على الأرض ولكن, خلافا لإذن الاعتكاف.
إذا سمح صاحب الأرض للآخرين بالاعتكاف في المكان ، ثم على الفور ، يتم التعرف على المكان كمسجد. وفقا لقانون وضع الأرض لمبنى مسجد هدايت الله لا يفي بعناصر الوقف التي حددها التشريع وفقا للقانون رقم ٤١ لعام ٢٠٠٤ بشأن الوقف مثل واقف وناظير ووقف التعهد. لذلك من منظور التشريع لا يمكن تصنيف الأرض المبنية بمسجد هدايت الله على أنها أرض أوقاف.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Supervisor: | Haris, Abdul |
Keywords: | Status Hukum; Masjid; Tanah non Wakaf Legal Status; Mosque; non Waqf Land الوضع القانوني; مسجد ;أرض غير الأوقاف |
Departement: | Fakultas Syariah > Jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah |
Depositing User: | Anja Idarotun Nafisah |
Date Deposited: | 14 Aug 2023 09:17 |
Last Modified: | 14 Aug 2023 09:17 |
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/55676 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
![]() |
View Item |