Kurnia, Yurie Agustia (2016) Perkawinan beda agama pada masyarakat Suku Tengger: Studi kasus di Desa Wonokerto Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim.
|
Text (Fulltext)
12210034.pdf - Accepted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (3MB) | Preview |
Abstract
INDONESIA :
Sistem perkawinan pada masyarakat Tengger bersifat eksogami, yaitu masyarakat Tengger tidak melarang siapapun untuk menikah dengan masyarakat luar Tengger atau daerah lainnya. Perkawinan beda agama sudah dianggap wajar oleh masyarakat Tengger karena banyak orang yang melakukan hal tersebut. Sehingga dari sini, peneliti bermaksud mengkaji yang berkaitan dengan bagaimana prosedur pelaksanaan perkawinan beda agama pada masyarakat suku Tengger, bagaimana pandangan tokoh masyarakat dan pelaku mengenai perkawinan beda agama pada masyarakat suku Tengger, dan bagaimana pandangan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam tentang perkawinan beda agama pada masyarakat suku Tengger.
Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi penelitian Empiris dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data yang peneliti lakukan dengan cara wawancara dan observasi. Data tersebut didapatkan oleh data primer yang didapat peneliti secara langsung. Analisis data adalah bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena yang terjadi dilapangan.
Kesimpulan penelitian ini adalah : prosedur pernikahan beda agama pada masyarakat suku Tengger yaitu tahap pertama melakukan penentuan waktu kapan dilaksanakan perkawinannya oleh dukun, tahap kedua melakukan perkawinan secara adat, dan tahap ketiga melakukan perkawinan secara islami. Dalam perkawinan beda agama ini tidak terjadi suatu masalah yang rumit, hal ini berdasarkan pandangan tokoh masyarakat dan pelaku yakni, pertama sikap saling menghormati dan toleransi yang sangat tinggi antar umat beragama, kedua adanya Hak Asasi Manusia yang memberikan kebebasan terhadap masyarakat dalam memilih sesuatu yang dikehendaki. Perkawinan beda agama dalam Undang-Undang maupun hukum islam memang dilarang, hal ini tetap dilakukan karena mereka beranggapan bahwa perkawinan itu merupakan bentuk dari toleransi antar umat beragama. Adapun saran untuk warga desa Wonokerto diharapkan untuk lebih meningkatkan pendidikan, lebih mendalami ilmu agama dan tetap menjaga serta melestarikan adat kebudayaan yang sudah ada. Kepada pemerintah daerah diharapkan untuk bisa lebih mengawasi tingkat kesejahteraan pada masyarakat. Dan untuk masyarakat luar Tengger diharapkan mencontoh toleransi antar umat beragama yang ada di suku Tengger, sehingga timbul sikap saling menghormati antar umat beragama di Indonesia.
ENGLISH :
Marriage system on Tengger ethnic is exogamy, Tengger people do not forbid anyone to marry outside their community or other areas. Interfaith marriage that occurred in the tribal Tengger tribe itself in general never became a problem, because Tengger people already has an open mind about the marital problems. Interfaith marriage has been deemed reasonable by their community because many people are doing it. So from that case, the researcher intends to study how the procedure relating to the implementation of interfaith marriage on society Tengger tribe, how the views of community leaders and perpetrators of the interfaith marriage on society Tengger tribe, and how the views of Act No. 1 of 1974 and the Islamic ruling on interfaith marriage on society Tengger tribe.
The measures used in this study include empirical research with qualitative approach. The data collection that researchers do is by interviews and observations. The data obtained of the primary data which obtained directly from researcher during the research. Descriptive data analysis is intended to describe a phenomenon that occurs in the field.
The conclusion of this research is: procedure interfaith marriage on society Tengger tribe which is the first stage of making the determination of when the marriage conducted by a shaman, the second stage did the marriage customs, and the third stage to marriage Islamically. In interfaith marriage is not the case a complex problem, it is based on the views of community leaders and actors, ie first mutual respect and a very high tolerance among religions, both the Human Rights providing freedom to the people in choosing something desired , Interfaith marriage in the Constitution nor the law of Islam is prohibited, it is still being done because they think that marriage is a form of inter-religious tolerance. The advice to villagers Wonokerto expected to further improve education, more deep religious knowledge and maintaining and preserving the indigenous culture that already exists. To local governments is expected to be greater control over the level of welfare of the community. And to the outside community Tengger expected to follow the example of religious tolerance in the Tengger tribe, so that the resulting mutual respect among religions in Indonesia.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Supervisor: | Hamidah, Tutik | ||||||
Contributors: |
|
||||||
Keywords: | Perkawinan; Beda Agama; Suku Tengger; Marriage; Interfaith Religion; Tengger Tribe | ||||||
Departement: | Fakultas Syariah > Jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah | ||||||
Depositing User: | Rahmatul Apriyanti | ||||||
Date Deposited: | 03 Aug 2016 10:50 | ||||||
Last Modified: | 03 Aug 2016 10:50 | ||||||
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/4024 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
View Item |