Mustopa, Lutfi Ma'sum (2015) Batas usia perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menurut psikologi perkembangan dan maqāṣid al-sharī’ah al-Shatiby. Masters thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
|
Text (FULLTEXT)
13780035.pdf - Accepted Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives. Download (1MB) | Preview |
Abstract
INDONESIA:
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan batasan usia pada setiap seseorang yang akan melaksanakan perkawinan dengan usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Namun, batasan usia yang diberikan oleh Undang-Undang nampak lebih melihat pada kesiapan biologis. Di sisi lain, aturan dalam Undang-Undang yang termodifikasi tersebut harus dapat mewujudkan kemaslahatan bagi pihak suami-istri dalam membina rumah tangganya. Melihat ketetapan tersebut, penulis memandang perlu agar batasan usia tersebut dikaji lagi untuk mewujudkan rumah tangga yang kekal dan bahagia serta sesuai dengan tujuan disyari’atkannya hukum Islam atau sesuai dengan maqāṣid al-sharī’ah.
Adapun tujuan penelitian ini. Pertama, mendeskripsikan batasan usia dalam Undang-Undang tersebut dilihat menurut psikologi perkembangan. Kedua, mendeskripsikan batasan usia perkawinan tersebut dilihat menurut maqāṣid al-sharī’ah, dan ketiga membandingkan penjelasan batasan usia dalam undang-undang tersebut menurut psikologi perkembangan dan maqāṣid al-sharī’ah.
Secara umum metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang diarahkan dan difokuskan terhadap penelitian bahan-bahan pustaka, yang ada kaitannya dengan masalah batas usia perkawinan, psikologi, dan maqāṣid al-sharī’ah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif. Mendeskripsikan batasan usia dalam undang-undang kemudian dikaitkan dengan psikologi perkembangan dan maqāṣid al-sharī’ah.
Hasil penelitian ini: Pertama, batasan usia tersebut menurut psikologi perkembangan dinilai masih dalam kategori remaja yang belum siap secara psikologis. Kedua, menurut maqāṣid al-sharī’ah, usia tersebut belum mampu menjaga keturunan, jiwa, akal, dan harta keduanya. Ketiga, perbandingan batas usia perkawinan tersebut menurut psikologi menjelaskan usia 16-19 tahun tergolong remaja, sering bersikap idealis, mudah membuat keputusan sendiri tanpa berfikir panjang. Secara maqāṣid al-sharī’ah, perkawinan pada usia 16-19 tahun perlu dihindari untuk melindungi akal agar tetap berpikir dengan bijaksana, karena pada usia tersebut tidak dapat mengelola emosinya lebih efektif, kurang mampu menerapkan baik-buruk dalam kehidupannya, membutuhkan banyak hormon untuk pertumbuhan fisiknya, dan belum pandai dalam mencari rezeki demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
ENGLISH:
Article 7 of law Number 1 of year 1974 on Marriageable provides the marriageable age on any people are 19 years old for men and 16 years old for women. However, marriageable age of law refers more to the biological maturity. On the other hand, the modified rules in Law should be able to realize the goodness for any couples in fostering the household. Seeing the decree, the author considers that the marriageable age is needed to be reviewed again to realize the blessed eternal household as the purpose of the Islamic law or the maqāṣid al-sharī’ah.
The purpose of this study. First, describe the marriageable age in law seen by developmental psychology. Secondly, describe marriageable age seen by maqāṣid al-sharī’ah. Third, comparing marriageable age in law according to developmental psychology and maqāṣid al-sharī’ah.
In general, the research method is normative research. The research directed and focused on literature review which relevant to the issues of marriage, psychology, and maqāṣid al-sharī’ah. The method used in this research is descriptive. Describing the marriageable age in law and linked to developmental psychology and maqāṣid al-sharī’ah.
The results of this study: first, level of marriageable age provided by law according to developmental psychology is still classified as teenagers who still unready to build household psychologically. Secondly, according to the maqāṣid al-sharī’ah, on that age people still not be able to control the family, psyche, thought, and their both prosperity effectively. Third, the comparison of the marriageable age according to the developmental psychology explains people at 16-19 years old classified as teenagers whose often being idealistic, and short-sighted in making decisions. In maqāṣid al-sharī’ah, marriage at 16-19 years old should be avoided to protect the sense of wise, because on that level of age people emotionally unstable, hard to determine right or wrong, still requires a lot of growth hormones, and do not have enough capacity to build prosperous household.
Item Type: | Thesis (Masters) | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Supervisor: | Isrok, Isrok and Sudirman, Sudirman | |||||||||
Contributors: |
|
|||||||||
Keywords: | Maqāṣid al-Sharī’ah; Batas Usia; Psikologi Perkembangan; Maqāṣid al-Sharī’ah; Marriageable Age; Developmental Psychology | |||||||||
Departement: | Sekolah Pascasarjana > Program Studi Magister al-Ahwal al-Syakhshiyyah | |||||||||
Depositing User: | Imam Rohmanu | |||||||||
Date Deposited: | 27 Jun 2016 12:14 | |||||||||
Last Modified: | 27 Jun 2016 12:14 | |||||||||
URI: | http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/3225 |
Downloads
Downloads per month over past year
Actions (login required)
View Item |